Gue masih inget banget waktu pertama kali nonton Juventus main—sekitar awal 2000-an. Dulu itu zaman-nya Alessandro Del Piero, Pavel Nedvěd, dan David Trezeguet. Gila sih, mainnya elegan tapi tajam, kayak pisau dapur emak-emak yang baru diasah.
Waktu itu, gue nonton dari warung kopi, layar masih tabung, suara bersemut, tapi semangatnya… luar biasa! Dan dari situlah cinta pertama itu tumbuh. Buat sebagian orang mungkin aneh, tapi fans Juventus itu kayak punya ikatan batin. Gue sempet ngerasain sedihnya waktu klub ini turun ke Serie B gara-gara skandal Calciopoli. Tapi justru dari situ gue makin bangga jadi Juventini—karena cinta yang sejati itu gak cuma waktu klub menang, tapi juga pas lagi jatuh.
Gue masih inget malam waktu mereka naik lagi ke Serie A. Ada rasa bangga yang gak bisa dijelasin. Mungkin kayak liat anak sendiri naik panggung wisuda. Sejak saat itu, Juventus gak cuma sekadar klub bola. Mereka kayak lambang semangat untuk bangkit dari keterpurukan.
Sejarah Kejayaan Juventus di Liga Italia
Contents
- 1 Sejarah Kejayaan Juventus di Liga Italia
- 1.1 Skuad Utama Juventus Musim 2025
- 1.2 Kenapa Juventus Tetap Jadi Klub Favorit Sampai 2025
- 1.3 Hal-Hal Kecil yang Bikin Gue Betah Jadi Juventini
- 1.4 Bukan Sekadar Klub, Tapi Bagian dari Hidup
- 1.5 Juventus dan Identitas “Winning Mentality” yang Menular
- 1.6 Hubungan Khusus Juventus dengan Pelatihnya
- 1.7 Derby d’Italia: Momen Paling Dinanti
- 2 Author
Kalau bicara sejarah sport Juventus di Serie A, kita bicara soal tim paling sukses di Italia. Totalnya? 36 kali juara Liga Italia (per 2024). Dominasi mereka itu gila sih, apalagi waktu era Antonio Conte sampai Massimiliano Allegri di awal 2010-an. Gue inget banget mereka juara 9 kali beruntun dari musim 2011–2012 sampai 2019–2020. Yang bikin beda dari Juve adalah konsistensinya.
Gue sering denger orang bilang, “Ah, Juventus mah menang mulu, bosen.” Tapi justru di situlah kerennya. Tim ini dibangun dengan sistem, bukan cuma andalkan pemain bintang. Mereka selalu punya identitas—main solid, mental juara, dan selalu bawa DNA menang.
Juve juga dikenal punya pertahanan solid. Dari era Chiellini–Bonucci–Barzagli, sampai sekarang generasi baru. Bahkan kiper legendaris kayak Buffon jadi ikon. Kalau lo nonton mereka waktu masih di Juventus Stadium (sekarang Allianz Stadium), auranya beda—kayak benteng.
Dan, satu hal lagi. Juventus itu klub yang selalu punya pemain tengah berkelas. Mulai dari Zidane, Pirlo, sampai sekarang Adrien Rabiot atau Manuel Locatelli. Mereka pinter ngatur ritme.
Skuad Utama Juventus Musim 2025
Musim ini (2024–2025), skuad Juventus mulai berubah wajah. Banyak anak muda mulai masuk dan dapet tempat. Ini dia nama-nama yang menurut gue lagi jadi kunci permainan:
Wojciech Szczęsny – Masih jadi tembok terakhir di bawah mistar.
Bremer – Bek tengah tangguh asal Brasil, pengganti Chiellini yang gak kalah buas.
Federico Gatti – Bek muda yang makin konsisten.
Manuel Locatelli – Motor permainan tengah, visi umpannya jernih.
Adrien Rabiot – Gue awalnya gak yakin sama dia, tapi musim ini mainnya luar biasa stabil.
Nicolò Fagioli – Playmaker muda yang kayak Pirlo versi baru. Kalau dia lepas, nyesel banget sih.
Federico Chiesa – Winger yang punya determinasi tinggi. Gak kenal capek.
Dusan Vlahović – Target man tajam. Kadang suka frustrasi, tapi insting golnya sih kelas.
Yang menarik, Juventus juga mulai berani mainin pemain akademi. Ada beberapa nama kayak Kenan Yıldız dan Samuel Iling-Junior yang mencuri perhatian. Nonton mereka tuh kayak ngeliat masa depan Juve dikasih teaser.
Kenapa Juventus Tetap Jadi Klub Favorit Sampai 2025
Oke, ini mungkin bagian yang paling emosional buat gue. Karena kalau ada yang nanya, “Kenapa sih lo suka banget sama Juventus?” jawabannya gak sesimpel “karena mereka sering juara.”
Gue suka Juventus karena mereka ngajarin gue soal loyalitas dan kebangkitan. Pas diturunin ke Serie B, banyak pemain yang bisa aja cabut—tapi gak. Del Piero, Buffon, Trezeguet… mereka stay. Itu langka banget di dunia sepakbola modern.
Juventus juga selalu ngajarin bahwa kemenangan itu butuh proses. Lo gak bisa instan. Mereka sabar bangun ulang tim, gak buru-buru panik meski fans udah pada marah. Ada semacam ketenangan khas Juventus yang gue kagumi.
Dan terakhir, gue suka cara mereka menggabungkan tradisi sama inovasi. Seragam mereka selalu punya sentuhan klasik. Tapi sistem pelatihannya, akademinya, bahkan branding klubnya? Modern banget. Mereka tuh ngerti cara mempertahankan identitas tanpa jadi usang.
Hal-Hal Kecil yang Bikin Gue Betah Jadi Juventini
Jujur, kadang gue juga kesel. Juventus bisa banget bikin stres. Gol telat kebobolan, passing gak jelas, atau pelatih yang suka gambling strategi. Tapi itulah sepakbola—dan itulah Juventus. Gak sempurna, tapi bikin nagih.
Gue juga punya ritual aneh tiap Juventus main. Harus duduk di pojok kanan sofa, pake jersey musim 2017. Kalau gak, rasanya gak afdol. Lo mungkin ketawa, tapi fans bola pasti ngerti vibe kayak gitu.
Satu hal yang gak pernah berubah: komunitas fans-nya. Gue gabung beberapa grup WA dan forum. Ngerasa kayak punya keluarga yang ngerti rasanya frustrasi pas VAR gak berpihak, atau bahagianya pas Vlahović cetak gol di menit 89. Ada koneksi emosional yang cuma bisa dimengerti sesama Juventini.
Dan, tahu gak? Salah satu mimpi gue yang belum kesampaian adalah nonton langsung di Allianz Stadium. Suatu hari nanti, entah gimana caranya, gue bakal berdiri di sana dan nyanyiin “Storia di un Grande Amore” bareng ribuan fans lain. Aminin dong, ya 😄
Bukan Sekadar Klub, Tapi Bagian dari Hidup
Juventus buat gue bukan cuma klub bola. Mereka jadi bagian dari cerita hidup gue. Dari masa muda yang penuh idealisme, sampai sekarang—jadi guru 40-an yang masih begadang demi nonton tim kesayangan main.
Mereka ngajarin gue sabar, komitmen, bahkan bangkit waktu jatuh. Dan gue yakin, setiap fans bola punya klub yang ngajarin hal yang sama. Tapi buat gue, Juventus itu rumah.
Kalau lo juga Juventini, gue yakin lo ngerti perasaan ini. Dan kalau lo bukan fans Juve, gak masalah. Tapi kalau suatu hari lo pengen pilih klub yang bukan cuma soal piala, tapi juga soal cerita—coba deh kenal lebih dekat sama Juventus.
Salah satu hal yang bikin gue tetap jatuh cinta sama Juventus adalah mentalitas menang mereka yang udah mendarah daging. Lo tahu kan, gak semua klub punya aura itu—yang meskipun lagi tertinggal 0-1 di menit 85, tetap ada rasa “tenang, kita bisa comeback.” Itu yang gue rasain waktu nonton Juventus. Mereka bukan tim yang gampang panik. Bahkan saat underdog pun, mereka tetap tampil percaya diri.
Gue masih inget pertandingan lawan Inter Milan di musim 2021—kalah jumlah pemain, tapi tetap ngotot dan akhirnya nyaris comeback. Di situ gue sadar, Juventus bukan soal strategi doang. Tapi soal karakter.
Hubungan Khusus Juventus dengan Pelatihnya
Juventus juga unik soal hubungan mereka sama pelatih. Gak semua pelatih bisa cocok. Tapi kalau udah klik, hasilnya luar biasa. Antonio Conte misalnya—dia datang pas Juve baru aja berantakan. Tapi dia bawa semangat baru, main agresif, dan langsung juara. Lalu Allegri masuk, dan malah bikin Juve lebih stabil. Mungkin banyak yang bilang gaya mainnya ngebosenin, tapi efisien banget. Kayak mesin diesel—pelan di awal, tapi kenceng di akhir.
Sekarang, dengan pelatih baru yang lebih muda dan berani eksplorasi, Juventus kayak lagi masuk masa peremajaan. Dan sebagai fans, gue excited banget liat arah barunya.
Derby d’Italia: Momen Paling Dinanti
Sebagai Juventini, satu hal yang paling gue tunggu tiap musim tentu aja Derby d’Italia lawan Inter Milan. Ini bukan cuma sekadar pertandingan biasa. Ini kayak El Clasico-nya Italia. Atmosfernya beda. Tegang dari awal sampai akhir. Bahkan kalau kalah pun, sakitnya bisa berhari-hari, bro! 😅
Tapi di sisi lain, kemenangan di Derby d’Italia juga punya rasa manis yang gak bisa dijelasin. Gue pernah sampe teriak tengah malam (dan kena tegur tetangga) waktu Juve menang tipis lewat gol di menit akhir.
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Stade Geoffroy-Guichard: Dari Final Eropa hingga Euro 2016, Sejarah di Setiap Sudutnya disini